Dalam alur hukum sejarah kondisi hari ini merupakan sebuah manifestasi keadaan masa lalu yang jika tidak disusun secara rapi dan tidak terselesaikan dengan cara yang tepat akan menjadi polemik di kemudian hari.
Dalam penyusunan Dasar Negara misalnya, dahulu tidak bisa kita pungkiri perdebatan tentang hubungan Negara dan Agama yang ideal menjadi percakapan yang cukup serius pada sidang-sidang BPUPKI, persoalan itu belum cukup untuk dikatakan selesai.
Dan bisa kita lihat benang merah dari semua persoalan itu hari ini, Negara Indonesia dengan Pancasilanya belum menetukan pendirian yang tegas akankah menghendaki sekulerasi (dalam artian terbatas) atau malah sebaliknya yaitu menjadi Negara agama. Disinilah dituntut pendirian ideologis yang tegas sebagai sebuah bangsa untuk menyongsong sejarah.
Hukum sejarah yang menuntut pendirian tegas seperti itulah yang berlaku juga dengan fokus pembahasan pada tulisan kali ini, yaitu tentang konsep Republik Indonesia.
Jika kita baca sejarah dengan perkakas kritis kita akan menemukan sebuah fakta bahwa kata Republik yang kita dijalankan oleh negara kita adalah sebuah gagasan dari seorang tokoh yang kerap kali digambarkan sebagai tokoh kiri dan sering kita anonimkan dengan seorang yang Komunis yaitu Tan Malaka. Penggambaran yang kental dengan elemen biopik ditambah dengan sentimen komunisme yang menyejarah itulah yang mengaburkan dimensi pemikiran Tan Malaka. Disinilah kita dituntut untuk objektif menilai sejarah.
Marilah kita melihat Tan Malaka dalam kacamata yang kurang lebih berbeda dan tidak populer yang menyebutkan sumbangsihnya terhadap Republik kita, Indonesia.
Dalam menegakkan gagasanya tentang konsep Republik bagi Indonesia, jauh-jauh hari Tan Malaka menulis sebuah Brosur Naar de Republiek Indonesia yang ditulis lebih awal dibanding Indonesia Vrije (Moh. Hatta, 1928), atau Mencapai Indonesia Merdeka (Soekarno, 1933). Brosur yang diselundupkan ke Hindia Belanda secara ilegal inilah yang kemudian menginspirasi pembuatan 2 buku karya Dwi-Tunggal itu.
Apresiasi bernuansa positif tampak jelas dari Muh. Yamin, ia menyatakan bahwa Naar de ‘Republik Indonesia’ yang ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1925 di Singapore merupakan manifesto politik pertama di Indonesia yang membentuk imaji bangsa (Yamin, 1946). Tentu pendapat Muh. Yamin itu beralasan kuat ia sebagai orang yang sangat paham akan sejarah dan sekaligus pelaku sejarah itu sendiri memandang bahwa Di tengah tekanan Kolonialisme Belanda selama ratusan tahun itu, tentu saja membebankan psikologis yang berat bagi publik, mengekang hampir semua manusia Indonesia untuk berpikir dalam imajinasi merdeka.
Lewat karyanya Tan Malaka yang mengingatkan kepada semua manusia Indonesia untuk terus memelihara imaji tersebut untuk merdeka, itu karena hanya dengan berlaku seperti demikian asa untuk merdeka dapat direalisasikan bersama. Tampak jelaslah dalam potret sejarah seperti ini bahwa perubahan yang radikal dari sebuah keadaan tidak dimulai dari sesuatu yang jauh di luar diri yang antah-berantah tapi cukup kita asosiasikan perubahan itu dalam diri dan pikiran kita.
Tampaknya Tan sadar akan makna kemerdekan yang sebenarnya, bahwa kemerdekan itu harus dipupuk kembangkan mulai dari kebebasan berpikir dan ber-imaji yang kemudian dengan imaji itulah yang akan menjadi pembakar semangat untuk menentukan nasib sendiri sebagai suatu bangsa (itulah makna merdeka).
Dan tanpa tending aling-aling Tan mengusung merdeka 100% bagi Republik Indonesia yang ia cintai itu. Untuk mewujudkan cita-cita itu ia lebih memilih jalan nonkoperatif untuk menghadang keinginan kembali Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Jalan itu tampak berbeda jauh dengan Soekarno-Hatta yang lebih memilih jalan kooperatif (diplomasi) yang dapat kita rasakan keadaan hari ini. Banyaknya otoritas pemerintahan yang diambil lakonnya oleh pemodal asing.
Seandainya (mengajak untuk berimajinasi kembali) jalan yang digagas Tan Malaka yang dipilih bangsa Indonesia dengan merdeka 100%-nya, akan seperti apa pemerintah Republik Indonesia kita ini? Tanpa dominasi pemodal asing!