Rethinking Politik Cawe-cawe

Ramdhan Zoelva
3 Min Read

Pemilihan Umum sebagai miniatur dan parameter kualitas Demokrasi di indonesia menyita begitu besar perhatian dan energi masyarakat. Tatanan masyarakat dan kualitas hidup 5 Tahun kedepan dipertaruhkan pada tanggal 14 Februari 2024 pada saat proses election. Para calon dan peserta pemilu dalam menggaet simpati masyarakat menggunakan pendekatan (Approach) yang beragam. Ada calon dan peserta pemilu yang menggunakan gagasan dan ide serta rekam jejak, ada juga yang menggunakan pengaruh dari kekuasaan baik itu institusi ataupun uang.

Demokrasi sejak kemunculannya di Yunani dan tumbuh kembangnya di indonesia sebagai sebuah tradisi dalam pengambilan keputusan memiliki satu prinsip yang tidak bisa dibelah karena merupakan satu kesatuan utuh yaitu prinsip kesetaran kesempatan. Di Dalam demokrasi kesetaraan kesempatan menjadi ruh yang membuka seluas luasnya siapa saja bisa jadi apa saja, tanpa ada invisible hand yang merusak dengan politik praktis atas nama kekuasaan segelintir orang, yang kita sebut oligarki atau dalam bahasa yang lebih sederhana yaitu politik cawe-cawe.

Politik cawe cawe merupakan bentuk kenampakan kemuka masyarakat atas kelemahan, keputusasaan, dan ketidak percaya dirian seorang calon dan peserta pemilu. Politik cawe-cawe merupakan bentuk terburuk dari realitas institusional-politikal yang harus sama sama kita rubah sebagai upaya penyelamatan demokrasi. 

Dalam ideologi pancasila, tata kelola institusi sosial-politik, selain harus dalam kerangka negara hukum juga harus diarahkan untuk mengintegrasikan kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan dan keadilan.

Pada tingkat structural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi “liberal-minimalistik” tanpa menyesuaikan secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat indonesia, justru melemahkan demokrasi. Sementrara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahtraan, pilihan desain demokrasi  kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Situasi ini kian memperburuk dengan menguatnya penetrasi neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar dan segala bidang kehidupan.

Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan politik daripada institusi-institusi publik. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan bisa berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) bisa ditundukkan dibawah kendali res privata (urusan privat).

Untuk menjawab persoalan cawe-cawe salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah menguatkan lagi bagian dari demokrasi yang hilang yaitu Meritokrasi. Meritokrasi merupakan lawan dan penantang dari oligarki. Meritokrasi memberikan kesetaraan kesempatan siapa saja bisa jadi apa saja dan jenjang karirnya didasarkan atas kompetensi, prestasi dan rekam jejak.

 

Ref;

Yudi latif (2020) Wawasan Pancasila, penerbit Mizan: Jakarta

Share This Article
Leave a comment
Layanan Prima Taman Sains

Form Pendaftaran Kontributor Penulis tamansains.com